Pemerkosaan Brutal Yunita Suster Jilbaber Putri Tiri Kepala Desa
Pemerkosaan Brutal Yunita Suster Jilbaber Putri Tiri Kepala Desa – vidio bokep.
Yunita telah mulai bersiap-siap untuk kembali ke Yogyakarta setelah seminggu berada di desa kelahirannya. Telah bulat tekadnya bahwa kedatangannya ke desa kelahirannya di pulau Bali kali ini adalah yang terakhir kali, bukan karena Yunita telah menjadi angkuh dan lebih senang di kota besar, melainkan ada sebab lainnya. Telah terpenuhi tugasnya sebagai putri yang berbakti yaitu menghadiri dan mendampingi ibu kandungnya di saat-saat terakhir sakit dan sampai menutup mata serta dimakamkan.
Yunita yang berwajah cantik itu adalah seorang jururawat dengan kedudukan cukup mantap dan baik di sebuah rumah sakit terkenal di ibukota. Ia telah menikmati pendidikan sebagai jururawat bukan saja di Yogyakarta, namun telah dilanjutkannya di Amsterdam, Belanda dan memperoleh ijazah perawat internasional.
Oleh karena itulah setelah kembali dan memperoleh pekerjaan di Yogyakarta, hanya dalam
waktu singkat Yunita – dengan nama lengkap sebenarnya Putri Yunita, telah menduduki jabatan kepala dari seluruh tim perawat, termasuk bagian operasi dan juga ICU/CCU – meskipun usianya baru 22 tahun dan belum berkeluarga karena sibuk dengan tugasnya sehari-hari di tempat kerja.
Telah banyak dokter-dokter muda yang mengincarnya namun belum ada satupun yang dapat merebut hati si perawat cantik ini. Ibu kandungnya yang tetap tinggal di desa telah menikah lagi beberapa tahun lalu karena suaminya telah meninggal dunia akibat kecelakaan. Sebagai “janda kembang” berusia awal empat puluhan dan masih terlihat anggun menarik, tak mudah hidup di desa pedalaman, selalu dijadikan bahan pergunjingan.
Yunita sebenarnya tak begitu senang bahwa ibu kandungnya menikah lagi – apalagi ketika diketahuinya bahwa ayah tirinya adalah Kades Abdul yang terkenal “hidung belang” dan sering main gila dengan istri orang lain. Abdul telah tiga kali menikah dan semua pernikahannya kandas karena perselingkuhannya. Terbukti pada saat duduk di pelaminan bersama dengan ibunya, terlihat sering sekali mata Abdul mampir ke arah Yunita anak tirinya seolah ingin menelanjangi tubuhnya, membuat Yunita resah dan tak betah.
Oleh karena itu pula Yunita jarang pulang ke desa kelahirannya karena segan bertemu dengan ayah tiri yang mata keranjang itu, justru sang ibu yang lebih sering datang ke kota mengunjungi putrinya dan selalu menanyakan kapan kiranya putri semata wayangnya itu akan menikah dan mempunyai keturunan.
Sebelum keinginan mempunyai cucu dari putrinya tercapai terjadilah musibah tak terduga: desa kecil itu mengalami wabah demam berdarah – dan salah satu korbannya adalah ibu kandung Yunita. Entah karena memang daya tahan tubuhnya kebetulan sedang lemah atau ada faktor lain, maka proses sakit ibu Yunita itu sangat cepat dan hanya dalam waktu tak ada 2 hari langsung meninggal akibat pendarahan hebat. Kesedihan Yunita tak dapat diuraikan dengan kata-kata, namun sebagai seseorang yang taat beragama maka Yunita menerima tabah percobaan yang menimpanya.
Semua acara adat dan tradisi desa diikuti oleh Yunita dengan patuh, semua kebiasaan ritual yang sangat melelahkan dijalankannya pula. Selama upacara sampai dengan pemakaman selesai, Yunita selalu memakai cadar tipis berwarna hitam dan demikian pula jilbab dengan warna serupa. Di hadapan semua yang hadir sebelum jenazah ibunya dimakamkan, Yunita berjanji akan selalu memakai jilbab putih selama satu tahun – juga selama menunaikan tugasnya di RS sekembalinya di Yogyakarta, ini sebagai tanda penghormatan dan juga masih berkabung.
Dengan dalih bahwa masih ada sedikit warisan dan peninggalan pribadi ibunya almarhum yang masih harus diurus dan setelah itu disimpan sendiri oleh Yunita, maka sang ayah tiri Abdul dan putra kandungnya (kakak tiri Yunita) bernama Ghazali dengan nama panggilan Ali meminta agar Yunita tak langsung keesokannya kembali ke ibukota, melainkan menginap satu dua malam lagi setelah acara duka cita dengan penduduk desa selesai.
Sebetulnya Yunita telah ingin segera meninggalkan ayah dan kakak lelaki tirinya secepat mungkin, tapi dengan muslihat kata-kata keduanya mengemukakan bahwa apalah pandangan penduduk desa jika putri satu-satunya langsung meninggalkan desa kelahiran sementara tanah pemakaman ibunya masih basah.
Akhirnya Yunita mengalah dan menelpon RS tempatnya bekerja bahwa ia baru akan kembali bekerja dua hari kemudian – sebuah kesalahan yang tak dapat dibayar atau ditebus kembali dengan apapun.
Di sore hari itu hujan turun dengan amat deras – disertai suara petir dan guntur silih berganti, karena itu jalanan di luar sepi tak ada tukang jualan.
Setelah makan malam bersama ayah dan kakak laki tirinya, Yunita dengan sopan santun mengundurkan diri masuk kamar tidurnya dan mulai membenahi pakaian di kopernya. Karena malam minggu maka para pembantu pun diizinkan Abdul pulang ke rumah masing-masing. Abdul dan Ali juga berpamitan dengan Yunita dan mengatakan bahwa mereka masih harus selesaikan pelbagai urusan kantor di Kelurahan yang juga ada hubungannya dengan persoalan Catatan Sipil.
Tanpa curiga dan bahkan merasa lega, Yunita melepaskan kedua laki-laki itu dan melihat mereka menghilang di tikungan sudut jalan dengan mengendarai motor masing-masing di tengah arus hujan lebat. Sangat naif sekali Yunita mengira bahwa keduanya betul-betul pergi – padahal mereka hanya naik motor sekitar tiga menit, menyembunyikan motor mereka di belakang ruangan sholat pelataran jual pompa bensin, lalu dengan memutar jalan kaki sedikit telah kembali lagi memasuki kebun belakang rumah.
Hujan yang sangat deras disertai bunyi petir dan guntur memudahkan dan menutup semua bunyi langkah kaki mereka ketika memasuki pekarangan rumah dari belakang. Bahkan bunyi terputarnya kunci pintu belakang sama sekali tak dapat didengar oleh Yunita yang merasa aman seorang diri di rumah dan sedang bersiap untuk mandi menghilangkan kepenatan tubuhnya.
Baju tidur telah digantungnya di kamar mandi, demikian pula celana dalam bersih putih berbentuk segitiga kecil, sedangkan bh-nya yang berukuran 34B serta celana dalam yang dipakainya telah dilepaskan dan terletak di ranjang. Hanya jilbab hitamnya masih menutup rambutnya yang bergelombang melewati bahu, sedangkan badan yang langsing namun sintal menggairahkan setiap lelaki dibalut dengan kain batik kemben.
Sebagaimana pada umumnya wanita pedesaan yang akan mandi di sungai, maka kain kemben itu di bawah menutup setengah betis sedangkan bagian atas pas-pasan dilipat di tengah melindungi tonjolan buah dada. Dengan hanya terlindung balutan kain kemben itu Yunita keluar dari kamar tidurnya untuk berjalan lima meter memasuki kamar mandi namun merasa aneh bahwa lampu di gang mati padahal dua menit lalu masih menyala ketika ia membawa celana dalam bersih, baju tidur dan handuk ke kamar mandi itu.
Di saat Yunita meraba-raba dinding untuk mencari tombol lampu, tiba-tiba ia merasa tubuhnya disergap dari belakang dan sebelum ia sempat berteriak, mulutnya juga dibekap dan disumbat oleh seseorang. Meskipun sangat kaget, Yunita langsung berontak sekuat tenaga dan berusaha menendang ke kiri dan ke kanan, namun pukulan tinju keras menghantam ulu hati, membuatnya kehilangan nafas dan menjadi lemas lunglai.
Kesempatan ini segera dipakai oleh salah satu lelaki penyergapnya yaitu Abdul untuk menggendong dan membawa Yunita ke kamar tidurnya sendiri yang memang letaknya paling dekat dengan kamar mandi. Sementara itu Ali mengencangkan kembali sekring listrik yang tadi sengaja dikendorkan sehingga tak ada aliran listrik, kemudian kembali ke kamar Yunita untuk membantu ayahnya menikmati mangsa mereka.
Lampu yang telah menyala kembali kini memberikan cahaya cukup, menampilkan dengan jelas apa yang sedang terjadi di kamar tidur : Yunita si cantik direbahkan di tengah ranjangnya sendiri yang cukup besar. Tubuhnya nan ramping namun sintal menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari tindihan ayah tirinya, Abdul, yang penuh kerakusan sedang melumat bibir Yunita dengan mulut besarnya yang berbau rokok. Abdul tahu bahwa putri tirinya ini sangat benci terhadap lelaki merokok – oleh karena itu ia senang sekali saat ini dapat melumat mulut Yunita dengan bibir manisnya hingga membuatnya membuka dan menerima uluran lidah penuh ludah berbau rokok miliknya.
Terlihat Yunita berusaha selama mungkin menahan nafas agar tak mencium bau yang sangat tak disenanginya itu, namun akhirnya terpaksa menerima limpahan ludah sang ayah tiri serta lidahnya yang berusaha mengelak kini telah ditekan dan disapu-sapu oleh lidah ayahnya yang kasar itu. Akibat rontaan Yunita maka kain batik kemben yang menutup tubuhnya hanya sampai batas atas dada itupun terlepas dan dengan mudah ditarik ke bawah oleh Abdul dan Ali, kemudian diloloskan melewati pinggul Yunita yang bergeser menggeliat ke kanan dan ke kiri dengan tidak teratur sehingga kini tubuhnya polos bugil tanpa tertutup sehelai benangpun, menyebabkan kedua lelaki durjana itu makin bernafsu melihatnya.
Yunita mulai mengalirkan air mata karena sadar nasib apa yang akan segera menimpanya dan menyesali dirinya sendiri kenapa mau dibujuk untuk menginap lagi dua malam di rumah yang dihuni dua serigala itu. Abdul tak perduli akan tangisan putri tirinya karena nafsu birahi yang selama ini tertahan sudah naik ke ubun-ubunnya, didudukinya perut datar Yunita hingga gadis itu jadi sukar bernafas dan kembali diciumi berulang-ulang bibir ranum Yunita, kembali dijarahnya rongga mulut Yunita yang hangat dengan lidah kasarnya.
“Eeeehmmm, emang dasar perawat dari kota, mulut atasnya aja harum begini, gimana mulut bawahnya… sebentar lagi abah mau nyicipin, nyerah aja ya nduk, percuma teriak enggak ada yang denger,” demikian celoteh Abdul sambil berulang-ulang meneteskan ludahnya yang bau, membuat Yunita merasa amat mual.
“Iya, percuma berontak, pasti cuma akan makin pegel dan sakit badannya. Ikut aja nikmati permainan kita berdua, pasti belon pernah ngalami ginian kan di kota?” ujar Ali menyebabkan Yunita semakin takut.
Sementara itu Ali tak mau kalah dan ikut beraksi : kedua kaki Yunita yang menendang kesana-sini, ke kiri dan ke kanan, dengan sigap ditangkap dan dicekalnya di pergelangan sehingga Yunita jadi sukar berontak lagi. Tak hanya sampai di sini saja : telapak kaki Yunita yang halus licin dan peka diciumi dan dijilat-jilatnya, membuat Yunita terkejut dan semakin menggelinjang kegelian. Apalagi ketika satu persatu jari kakinya dikulum oleh Ali, celah jari kakinya juga dijilat-jilat, membuat ronta kegelian Yunita semakin sukar dikendalikan, dan ini menambah nafsu birahi Abdul yang tengah menindih tubuhnya.
Kedua pergelangan tangan Yunita direjangnya di atas kepala yang masih tertutup jilbab sehingga tampak ketiak tercukur licin yang menjadi sasaran ciuman dan gigitan Abdul sehingga mulai muncul cupangan-cupangan merah di sana. Yunita yang kini lepas dari ciuman buas ayah tirinya berteriak sekuat tenaga, namun deras hujan angin disertai dentuman petir dan guntur menutup teriakan minta tolong memelas hati itu. Abdul merejang dan menekan kedua pergelangan tangan Yunita di atas kepalanya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya kini mulai meremas-remas bukit gunung kembar di dada putri tirinya yang amat menggemaskan itu.
Buah dada putih montok kebanggaan Yunita yang sampai saat ini tak pernah disentuh lawan jenisnya kini menjadi sasaran Abdul : selain diremas dan dipijit dengan kasar, putingnya yang berwarna merah tua kecoklatan itu juga diraba dan diusap-usap, sesekali juga ditarik, dipilin bahkan dipelintir ke pelbagai arah oleh Abdul, mengakibatkan rasa geli dan sekaligus juga ngilu tak terkira bagi Yunita.
Yunita tetap berusaha berontak sambil menangis sesenggukan, wajah cantiknya terlihat semakin ayu manis tetap di bawah jilbab hitamnya, tapi dirasakannya daya tahannya untuk melawan semakin berkurang. filmbokepjepang.sex Abdul yang telah sering menggarap banyak perempuan entah yang telah bersuami, maupun janda dan bahkan juga perawan di desa sekitar situ merasakan bahwa perlawanan Yunita mulai menurun.
“Hehehe, mulai lemes ya, Nduk? Gitu donk, pinter banget nih anak manis, ntar lagi diajak ngerasain apa itu surga dunia, tapi sekarang belajar dulu gimana ngisep sosis desa alamiah. Nih sosis makin diisep makin jadi gede, ntar malahan bisa keluarin sari jamu awet muda, mau nyoba kan?” seringai Abdul.
Yunita tidak langsung mengerti maksud kata-kata Abdul, ia merasakan tubuh ayah tirinya yang hampir delapan puluh kilo itu kini tak menduduki perutnya, melainkan bergeser ke atas dan meletakkan kedua lututnya hampir setinggi lipatan ketiaknya, sehingga dalam posisi ini wajah cantik Yunita langsung berhadapan dengan selangkangan Abdul.
Dengan tetap merejang dan menekan kedua pergelangan tangan Yunita ke kasur dengan satu tangan kiri saja, Abdul kini dengan sigap melepaskan ikat pinggang serta ritsluiting celananya. Sebagai wanita dewasa dan jururawat, Yunita kini paham apa kemauan Abdul dan dengan penuh ketakutan berusaha mati-matian meronta.
Tercium bau tak menyenangkan dari celana dalam ayah tirinya yang mungkin hari itu belum diganti – yang mana segera diturunkan pula oleh Abdul dan bagaikan ular Cobra yang mencari mangsanya, keluarlah rudal kebanggaan Abdul. Kemaluan Abdul yang besar panjang berurat-urat serta di-khitan itu kini mengangguk-angguk di depan wajah Yunita yang berusaha melengos ke samping. Reaksi penolakan semacam ini sudah biasa dialami dan ditunggu Abdul.
“Hehehe, biasa tuh perempuan, selalu malu-malu ngeliat barang lelaki, padahal dalam hati kecil udah pingin ngerasain ya. Tapi sebelumnya bikin si Otong makin binal, ayooh buka tuh bibir lebar-lebar, kulum, isep dan jilat dulu nih sosis alam sampe ngeluarin pejuh obat awet muda.” Yunita merasa amat jijik melihat kontol Abdul dan tak mau menyerah begitu saja, namun ayah tirinya sudah berpengalaman bagaimana mengatasi penolakan perempuan – dicubitnya puting susu Yunita yang telah tegak mengeras dengan memakai kukunya sehingga Yunita menjerit kesakitan atas perlakuan sadis ini.
Kesempatan ini telah dinantikan ayah tirinya : segera alat kelelakiannya yang memang telah bersiap di depan wajah Yunita ditempelkan ke bibirnya yang tentu saja Yunita segera menutupnya kembali. artikelbokep.com Abdul menyeringai sadis dan kini jari-jarinya yang sedang mencubit puting susu Yunita dipindahkan untuk memencét hidung mancung bangir milik putri tirinya sehingga Yunita kelabakan megap-megap mencari udara, otomatis tanpa dikehendaki mulutnya kembali membuka.
Kali ini tanpa ada ampun lagi kejantanan Abdul menerobos masuk di antara kedua bibir basah merekah dan memasuki rongga mulut Yunita yang hangat basah. Yunita merasa sangat jijik dan ingin mengeluarkan kemaluan yang sedang memerawani mulutnya itu, namun apalah dayanya sebagai perempuan lemah dikeroyok dua laki-laki perkasa, apalagi kini ayah tirinya kembali merejang kedua tangan ke atas kepalanya yang masih tertutup jilbab, sedangkan tangan satunya tetap memencét hidungnya hingga mulutnya tetap terpaksa untuk terbuka untuk mencari nafas.
Abdul kini mulai memaju-mundurkan kontolnya di mulut Yunita, setiap gerakan maju selalu lebih dalam daripada sebelumnya, menyebabkan Yunita tersedak setiap kalinya, ingin batuk tapi tidak bisa.
“Hehehe… nah, gimana rasanya, Nduk, dirajah dan diperkosa mulutnya, enak kan? Abah enggak bohong lan! Iyaaa… mulai pinter nyepongnya, teruuus… iyaaa… gituuuu… kulum nyg bener! Aaaaaah… pinteer emang putri abah satu ini! Ayo, iseeeep yang kuaaat… jilaaaat… iyaaa… abah udah mau keluaar nih, ooaaah!!!” akhirnya Abdul hanya berhasil memasukkan sekitar setengah dari kontolnya ke mulut Yunita.
Ujung kemaluan Abdul kini menyentuh, memukul-mukul dinding rahang Yunita di ujung kerongkongannya, menyebabkan Yunita berkali-kali tersedak menahan rasa mual ingin muntah. Rasa ingin muntah itu mengalami puncaknya ketika alat kejantanan Abdul terasa semakin membesar dan berdenyut-denyut, hingga akhirnya…
“Aaaaaah… iyaaaaaaa… nduuuuuk… ini abah keluaaaaar! Pinter banget, Nduuk… ayo, jangan ada yang dibuang! Teguk, abisin semuanya, Nduuuk… aaaah… iyaaaaa!!” Abdul menggeram bagai binatang buas di saat ia dengan penuh nikmat menyemprotkan lahar panasnya ke mulut Yunita.
Berbeda dengan Abdul yang sedang dilanda orgasme, Yunita merasa sangat terhina dan terpaksa menghirup sperma ayah tiri yang saat itu sangat dibencinya. Cairan kental hangat itu bagai tak henti menyembur dari lubang di puncak kemaluan Abdul, memenuhi kerongkongan Yunita, terasa sepat agak asin dengan bau khas sperma laki-laki.
Pertama kali merasakannya membuat perawat cantik berkudung ini tersedak ingin muntah. Namun Abdul bukan anak kemarin sore yang baru masuk usia belasan – kedua tangannya dengan sangat kuat segera memegangi kepala Yunita yang berjilbab sehingga Yunita jadi tak berkutik sama sekali. Kontol Abdul yang memang besar tetap memenuhi rongga mulut mangsanya dengan sempurna sehingga tak ada ruangan bagi Yunita untuk melepehkan cairan yang dirasakannya sangat menjijikkan itu.
Yunita hanya dapat mencakar-cakar lemah kaki Abdul dengan kukunya yang rapih terawat karena lengan atasnya telah ditindih dan ditekan ke kasur dengan kasar oleh lutut ayah tirinya sehingga tidak banyak dapat digerakkannya untuk melawan. Teguk demi teguk air mani Abdul terpaksa harus ditelannya karena jika tidak maka pasti akan masuk memenuhi dan mencekik jalan nafasnya. Yunita mengharapkan agar nasibnya dijarah kedua lelaki itu telah berakhir di sini, namun dugaannya itu sia-sia belaka – ini baru babak pertama penderitaannya.
Setelah sang ayah tiri menarik kontolnya dari rongga mulutnya, maka kini giliran sang kakak tiri menagih bagiannya dengan tentunya mendapat bantuan dari sang ayah. Abdul berlutut di samping kiri badan Yunita dan tetap mencekal menekan kedua nadi putri tirinya yang langsing di atas kepalanya yang masih tertutup jilbab dengan tangan kanannya ke kasur, sementara tangan kirinya kembali mengusap-usap buah dada korbannya, Abdul meremas-remas, memijit-mijit dan menyentil-nyentil puting Yunita.
Serangan bertubi-tubi ini kembali menunjukkan hasilnya karena bagaimanapun Yunita berusaha menekan gejolak birahinya, namun tubuhnya yang bahenol penuh dengan hormon kewanitaan kembali mulai mengkhianatinya. Kedua putingnya yang memang selalu mencuat ke atas dirasakannya semakin hangat gatal dan geli menginginkan ada tangan yang meremasnya. Namun karena tangannya sendiri di rejang ke kasur, maka yang dapat dilakukannya secara tanpa disadari adalah melentingkan tubuh bagian atasnya sehingga buah dadanya semakin membusung ke atas.
“Hehehe, nikmat ya, Nduk? Enggak usah malu-malu deh, enak ya pentilnya dirangsang, ntar lagi abah sama Ali pingin ngerasain susu asli, nih abah bantuin supaya keluar susunya,” Abdul bersenyum cabul lalu menundukkan kepalanya dan mulai menyusu di bongkahan payudara Yunita, mulutnya menyedot-nyedot sambil sesekali menggigit puting susu Yunita yang begitu merangsang.
“Aaah, auuw, oooh, udah dong abaah… jangan diterusin, enggak mauu… jangaaaan, lepasiiin, iieeempppphh, eeehhmmmp, jangaaan!” keluh si gadis cantik tanpa daya sambil terus menggeliat-geliat penuh keputus-asaan.
Namun itu semua hanya makin memacu nafsu birahi dan kebuasan kedua lelaki pemerkosanya. Sementara itu, Ali telah menempatkan diri di antara kedua paha Yunita yang begitu halus mulus dengan kulit putih kuning langsat. filmbokepjepang.sexKedua tangannya tak henti-henti mengusap-usap betis belalang Yunita – menyentuh dengan mesra kemudian meneruskan elusannya semakin naik ke arah paha, naik dan terus naik menuju ke arah selangkangan Yunita. Nafas kedua lelaki jahanam itu semakin berat mendengus-dengus melihat indahnya bukit kemaluan Yunita – bukit intim itu ternyata licin karena selalu dirawat dan dicukur tandas oleh sang empunya.
“Wuuiiih, memang lain ya perawat dari kota, memeknya kelimis begini, pasti sering diurut dan mandi spa ya?! Abang pengen nyicipi air celah perawan, pasti manis madunya, betul enggak, Neng?” goda Ali.
Tanpa menunggu jawaban, Ali merebahkan diri di antara kedua paha Yunita dan mendekatkan wajahnya ke arah selangkangan yang begitu merangsang nafsu setiap lelaki yang melihat itu. Ali menelungkupkan diri di antara kedua paha mulus yang dipaksa untuk dibuka lebar, betapapun Yunita berusaha mengatupkannya, namun tenaganya kalah dengan kedua lengan Ali yang sangat berotot.
“Emmmhhhh… emang bener, harum banget nih mémék, pake sabun apa sih, Neng? Atau selalu diolesin minyak wangi ya?” tanya Ali sambil mulai mengecup dan menciumi bukit kemaluan Yunita.
Lidahnya yang kasar tak kalah dengan sang bapak mulai menjelajahi bukit gundul kemaluan Yunita, Ali menjilat dan membasahinya dengan ludahnya, telaten ia menelusuri celahnya yang masih rapat karena belum pernah diterobos siapapun. Bibir kemaluan luar pelindung celah kewanitaan Yunita mulai dibuka oleh jari-jari Ali disertai dengan jilatan naik turun, sesekali berputar, merintis jalan memasuki bagian dalam yang berwarna kuning kemerahan.
Pemerkosaan Brutal Yunita Suster Jilbaber Putri Tiri Kepala Desa – Cerita Becek.
“Jangaaan, udaaaaah, sialaaaan, anjiing semuanya, enggak malu dua lelaki main keroyokan dengan perempuan!! Oooooh, udaaaah, stoooop, jangan diterusin, aaaaaah!” Yunita semakin menggeliat geli dan menahan gejolak naluri kewanitaannya yang semakin lemah menginginkan penyerahan total.
“Baguuus amat nih memek, haruuuum, enggak ada bau pesing sedikitpun, enggak seperti punya lonte desa, rejeki banget bisa ngerasain yang kaya begini,” Ali menjilat semakin ganas sambil menceracau tak karuan.
Gerakan paha mulus Yunita yang mengatup membuka tak teratur tak dipedulikannya karena penjelajahannya kini semakin dalam sampai lidahnya menemukan tonjolan daging kecil berwarna merah jambu yang tersembunyi di antara lipatan bibir kemaluan Yunita bagian dalam.
“Ini dia yang gue cari dari tadi, horeeee akhirnya ketemu juga butir jagung paling lezat… eeeemh, cuppp, cupppp, legitnya nih daging… si neng rupanya enggak disunat ya, jadi ngumpet tuh butir jagung. Tapi udah ketemu nih, jadi perlu diberikan pelayanan extra ya, Neng,” demikian sindir Ali yang kemudian tak berkata-kata lagi karena asyik menjilati kelentit Yunita yang semakin terlihat menonjol keluar.
“Aaaaaah, lepaaaaas, lepaaaaaskan, jangaaaan, enggaaaak mauuuuu, oooooooohh, emmmppfhhhh,” suara teriakan putus asa Yunita menggema di malam yang dingin itu, namun tetap dikalahkan oleh bisingnya suara hujan menimpa atap rumah, ditambah pula semakin seringnya gema petir dan guntur yang menggelegar menakutkan.
Abdul yang kembali tak sanggup menahan syahwatnya melihat tubuh Yunita yang telanjang bulat putih mulus meronta-ronta tak berdaya berusaha melawan rangsangan kakak tirinya yang dengan asyik melumat dan menggigit-gigit kelentitnya yang semakin lama semakin memerah, kembali mendekap dan menciumi mulut putri tirinya itu sehingga teriakan Yunita segera teredam.
Sementara itu Ali terus meningkatkan rangsangannya terhadap klitoris Yunita – dijepitnya daging mungil amat peka itu di antara bibirnya yang tebal dan dower, kemudian dijilatinya dengan penuh nafsu dan semangat sambil sesekali digosok-gosoknya kelentit yang semakin membengkak itu dengan kumis baplangnya dan juga janggutnya. Terutama janggutnya yang hanya tumbuh beberapa milimeter, bagaikan sapu ijuk kaku sehingga sentuhannya dirasakan oleh Yunita ibarat klitorisnya sedang digosok dengan sikat – itu tak dapat ditahan lagi oleh pusat susunan syaraf Yunita yang kini sedang dipenuhi oleh hormon birahi kewanitaannya.
Jutaan bintang kini meledak di hadapan matanya mengiringi gelombang orgasme bagaikan angin taufan menghempas tubuhnya yang melambung ke atas, Yunita mengejang beberapa menit ibarat terkena aliran listrik tegangan tinggi, jeritan yang seharusnya melengking, tertahan oleh mulut dan lidah Abdul, hingga akhirnya badan Yunita melemas dan terhempas kembali ke atas ranjang , menggelepar bagaikan orang sekarat.
Inilah saat yang telah dinantikan oleh kedua lelaki itu – sampai taraf ini mereka akan meruntuhkan pertahanan Yunita : dari perempuan alim berjilbab yang belum pernah disentuh lelaki menjadi wanita binal mendambakan kehangatan tubuh lelaki. Sesudah itu mereka akan bergantian dan juga sekaligus menikmati tubuh Yunita namun dengan cara lebih mesra dan hanya dimana perlu akan sedikit saja dikasari secara halus. Mereka telah merencanakan siapa lebih dahulu menikmati lubang yang mana, bahkan mereka sebelumnya telah melakukan undian.
Dalam undian itu Abdul akan pertama merajah mulut atas Yunita dan memaksa menikmati air maninya, sedangkan Ali mengoral mulut bawah sehingga gadis malang itu mengalami orgasme pertamanya. Setelah itu mereka akan bergantian tempat – Ali memaksa Yunita mengoralnya dan menikmati lagi pejuh lelaki kedua dalam hidupnya sementara Abdul akan merebut kegadisan putri tiri yang memang sudah diidamkannya sejak lama. Dan babak terakhir mereka berdua akan threesome mengajarkan Yunita untuk di ”sandwich” : Abdul tetap berada di bawah dan menikmati kehangatan celah kewanitaan yang baru direnggutnya, sedangkan Ali akan merenggut keperawanan Yunita yang kedua dengan menembus lubang bulat kecil di belahan pantatnya.
Dalam pelaksanaan maksud jahat mereka itu, keduanya telah sepakat bahwa Yunita akan mereka telanjangi terkecuali jilbab di kepalanya – ini akan memberikan lebih rasa kebanggaan dan ego yang tersendiri : mereka berhasil menjarah seorang gadis alim dan taat tata susila, merebut keperawanannya dan di akhir pergulatan mereka akhirnya si gadis menjadi wanita dewasa yang ke arah dunia luar tetap terlihat alim berjilbab namun di dalam tubuhnya telah terbangun nafsu birahi bergejolak, membuatnya menjadi wanita binal.
Kedua lelaki ayah dan anak itu saling berpandangan penuh kepuasan melihat korban mereka tergelimpang lemah lunglai dilanda kenikmatan. Untuk beberapa saat bahkan keduanya tak perlu memegang, merejang atau bahkan menindih tubuh Yunita, karena si gadis yang telah mandi keringat akibat orgasme pertamanya itu sedang “menderita” kelemasan. Tubuh Yunita yang sedemikian sintal dan bahenol hanya kejang-kejang lemah tanpa busana disertai sesenggukan tangisnya – saat itu tak sadar harus melindungi auratnya yang sedang dijadikan kepuasan mata para pemerkosanya.
Kini Ali dan Abdul menukar posisi mereka untuk memulai babak kedua aksi mereka : Ali dalam posisi rebah setengah menyamping di sisi kiri Yunita, memegangi kedua tangan Yunita di atas kepala yang masih terhias jilbab satin hitam. Tangan kiri Ali kini mendapat kesempatan untuk ekspedisi naik turun gunung daging putih yang di sana sini agak merah akibat jamahan kasar Abdul tadi.
Sesuai dengan rencana maka Ali kini mempermainkan buah dada mangsanya dengan lebih halus daripada ayahnya. Ali meraba dan membelai payudara berkulit halus itu dengan penuh kemesraan; ibarat seorang ahli benda purbakala sedang menilai cawan porselen dynasti Ming yang sangat langka, mengusap-usap dengan sangat hati-hati.
Jari-jari tangan Ali menaiki lerengnya yang terjal dan dengan lembut menuju ke arah puncaknya yang berwarna merah kecoklatan, ia menyentuhnya sedemikian perlahan dan halus seolah ingin menambah kemancungan dan ketinggiannya. Dan memang Yunita mulai mendesah mengeluh perlahan dengan mata masih setengah tertutup karena merasakan buah dadanya mengalami godaan yang sangat berbeda dengan kekasaran yang dialaminya tadi oleh Abdul.
“Wah, ini tedoy emang betul yahud, legit dan kenyal banget. Bisa dijadikan guling nih, sambil nyusu anget, pasti lebih sehat dari susu kaleng. Enggak tahan lagi nih, mau netek dulu ah, boleh ya?” celoteh Ali sambil meremas kedua buah dada dan bergantian menyedot menggigit kedua puting merah mencuat milik Yunita, menyebabkan Yunita semakin menggelinjang meronta tapi semua sia-sia saja.
Sementara itu Abdul telah menempatkan diri di antara paha Yunita – mulutnya dengan bibir tebal berkilat karena berulang kali dibasahi oleh lidahnya sendiri ibarat ular python telah menemukan mangsa. Yunita masih dalam keadaan setengah ekstase akibat orgasme menyadari apa yang akan segera dialaminya, ia berusaha lagi memberontak sekuat tenaga tapi tetap tak berdaya menghadapi kedua lawan yang demikian kuat dan sedang dipenuhi oleh hawa nafsu dan bisikan iblis.
Abdul kini berusaha menekan nafsu iblisnya dan bertindak seolah seorang suami di malam pengantin akan merenggut mahkota kegadisan istrinya. Diciuminya secara bergantian telapak kaki Yunita, jari-jari kakinya, betis langsing halus mulus, paha licin putih, naik melusur ke atas ke arah selangkangan Yunita yang tercukur rapi. Kini Yunita mulai merasakan malu sehingga tak terasa pipinya yang basah airmata merona merah, malu karena tubuhnya tanpa dikehendaki dan di luar kemauannya sendiri mulai merasakan pengaruh rangsangan dari ayah dan saudara tirinya.
Selangkangan Yunita yang masih terasa pegal kaku karena tadi dipaksa membuka oleh Ali, kini kembali dipaksa menguak. Kedua pahanya yang sekuat tenaga ingin dirapatkan, telah dipaksa lagi dipengkang sehingga terasa ngilu. Kedua lutut Yunita menekuk dan diletakkan di bahu kiri kanan Abdul – sementara mulut dowernya semakin mendekati mengendus-endus lipatan paha Yunita sampai akhirnya menempel di bukit Venus putri tirinya itu.
“Duuuuh, sialaaan! Ini memek emang buatan alam kelas satu, enggak pernah ngeliat bukit gundul licin kayak gini. Pinter banget ngerawatnya, hmmh… kalo mau tetep tinggal di sini, ntar abah cukurin tiap hari, terus langsung dijilatin. Mau ya, Nduk? Mmmmmh, udah keluar madu lagi, duuuh manisnya, Nduk!” Abdul berceloteh sendiri sambil mulai menjilati kemaluan Yunita.
Lidahnya yang kasar menyapu dan menyelinap di antara celah bibir kewanitaan Yunita, menjilati dinding yang telah licin akibat madu pelumas di saat orgasme beberapa menit lalu, ditelusurinya bibir bagian dalam memek kemerah-merahan itu, menuju lipatan atas dan akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Kembali Yunita diterpa rasa kegelian yang tak terkira, klitorisnya yang beberapa saat lalu menjadi sasaran lidah Ali sehingga memaksanya naik ke puncak orgasme, kini dilanjutkan dan diulang kembali.
Ibarat seseorang yang baru dipaksa mendaki, akhirnya mencapai puncak gunung, tapi tak diberikan waktu istirahat untuk menuruni tebing ke bawah – kini mulai lagi diseret dan dipaksa sekali lagi mendaki ke arah puncak. Yunita tak rela diperlakukan seperti ini, dikutuknya kelakuan kedua lelaki yang sedang menjarahnya itu, namun apalah daya seorang wanita dalam keadaan seperti ini.
Yunita berusaha menekan semua perasaan nikmat yang semakin menguasai tubuhnya, badannya yang sejak tadi meliuk meronta, kini dibiarkannya lemas lunglai, ia berharap bahwa dengan memperlihatkan reaksi “dingin” itu kedua pemerkosanya akan bosan dan menghentikan kegiatan mereka. Sayang sekali lawan yang dihadapinya – terutama Abdul bukan lelaki sembarang dan ingusan, ia telah mempunyai pengalaman cukup banyak dan tahu bagaimana memaksa bangun gairah seorang wanita yang sedang dikuasainya.
Bibir Abdul yang tebal kini mengecup dan melekat di kelentit idamannya, tak dilepaskannya sasaran utamanya itu, dicakupnya daging kecil berwarna merah jambu milik Yunita di antara bibirnya, dipilinnya ke kiri dan ke kanan, ditekan dan dijepitnya dengan gemas di antara bibirnya, dilepaskannya sebentar dan digantinya dengan sapuan lidah ampuhnya, demikian terus menerus dan berulang-ulang. Diserang dengan cara sangat ampuh seperti ini, Yunita akhirnya harus mengakui kekalahannya – rambutnya yang hitam bergelombang menjadi kebanggaannya telah acak-acakan tergerai, hanya jilbab penutupnya yang masih belum terlepas, disertai rintihan putus asa, tubuh sintal bahenolnya kembali kejang di orgasme keduanya.
“Toloooong, lepaaaaas, janggaaaan diterusiiiiiin, aaaauuuuuwww, aaaiiiihh, enggggggak maaauuu, tolooong, oooouuuuuuuw, eeemmmppffffhh!” kembali Yunita melenguh menjerit putus asa berusaha menembus bisingnya deraian hujan menimpa atap rumah, dan kembali mulutnya tertutup oleh bibir Ali yang berusaha sejauh mungkin mencium mulut adik tirinya dengan penuh kemesraan.
Abdul merasa puas melihat hasil rangsangannya – ia tahu bahwa di saat ini Yunita sedang dilanda badai orgasme lagi – dan saat ini adalah saat yang terbaik untuk menembus celah memeknya. Tak ada rasa yang lebih nikmat bagi Abdul ketika menembus keperawanan seorang gadis pada saat otot-otot dinding memeknya berdenyut berkontraksi karena orgasme. Saat itu adalah saat paling membahagiakan bagi pria berpengalaman : merasakan kontolnya menembus liang kewanitaan wanita yang seolah dipijit diurut-urut oleh dinding nan licin basah namun masih sangat sempit dan penuh kehangatan.
Semuanya itu disertai dengan wajah si wanita yang seolah-olah tak percaya dengan apa yang terjadi : nikmat sakit, sakit tapi nikmat. Abdul kini telah berhasil menempatkan kepala kontolnya yang keras, tegang berwarna hitam, dihiasi oleh pembuluh darah yang melingkar-lingkar menghiasi sepanjang batangnya. Kepala kontolnya yang gundul bagaikan topi baja serdadu terlihat sangat gagah dengan lubang di tengah agak membuka seperti mulut ikan, mulai memasuki memek putri tirinya.
Mili demi mili, sang kontol maju menusuk membelah celah yang belum pernah dijarah oleh lelaki manapun itu – disertai rasa kepuasan Abdul namun penderitaan bagi Yunita yang menangis tersedu-sedu, menjerit, merintih memilukan hati mengiringi kehilangan miliknya yang selama ini sangat dijaga dan diharapkannya akan diberikan kepada suami tercintanya kelak. Habislah harapan muluk Yunita untuk memasuki malam perkawinan dengan kesucian yang utuh, punah sudah impiannya untuk meneteskan air mata kebahagiaan di dalam pelukan kekasih dan suaminya ketika dengan penuh kerelaan ia mempersembahkan mahkota kegadisannya.
Sesuai dengan rencana maka saat ini Abdul tak memperlakukan Yunita dengan kasar, ia tidak menusuk secara brutal membabi buta ke dalam memek sang putri, melainkan agak diputar-putarnya gerakan maju mundur sang kontol.
“Nikmaaat tenaaaan, Nduk… begeuuuuur teuuuiiiing no bahenoool, abaaah dikasiiiih hadiaaaah begini enaaak, ntar abah ajariiiin yang lebiiiiih mantaaaab lagi. Ayooooh goyaaaangin tuh pinggul, jangan dieeem aja. Abaaah cobaa masuuuk dalemaaaaan lagi, Neng… jangan berontaaak ya, ntaar sakit, terima pasraaah aja!!” dengus Abdul sambil dengan yakin memaju-mundurkan pinggulnya, ibarat pompa air berusaha mencari sumber di tempat yang semakin dalam.
Sesekali disodoknya ke arah atas, kiri, kanan, bawah, lalu diulangnya lagi dari awal. Gerakan ini menyebabkan dinding tempik Yunita yang sedang mengalami penjarahan pertama seolah diaduk – diulek dan digesek dengan penuh kemesraan. Sementara Ali tetap memegangi kedua nadi Yunita sambil mulutnya tak kunjung berhenti menyusu di puting kiri kanan Yunita yang tetap mengeras bagaikan batu kerikil.
Kedua lelaki itu penuh kepuasan mengamati wajah Yunita yang telah mendongak ke atas namun tetap menggeleng ke kiri dan ke kanan. Wajah cantik Yunita semakin terlihat kuyu dan lemas, hidung bangirnya kembang kempis mendengus dan bernafas semakin cepat, sementara bibirnya yang mengkilat basah setengah terbuka.
“Auuummph, aaaaaoooohh, eeemmmpppph, eeeeeengghhh, aaaaaauuuww, ssssshhhhhh, udaaaah doong, aaaahhhh, udaaaaah, saaakiiiiiiit, ngiluuuuuu, ouuuuhhh, eeemmpphh, iiyyyaaaa, auuuuw, iyaaaaa,” tak sadar lagi Yunita mengeluarkan suara khas wanita yang sedang dilanda kenikmatan birahi.
Abdul dan Ali yang rupanya telah beberapa kali mengerjai wanita secara bersama, kembali saling berpandangan dan yakin bahwa pertahanan Yunita telah hancur luluh dan kini tinggal dilanjutkan permainan seksual ini untuk mengubah Yunita dari gadis alim menjadi wanita dewasa yang bukan saja hilang rasa malunya bersenggama, namun sebaliknya bahkan tak segan-segan menagih jatah untuk selalu dipuaskan.
Merasakan bahwa Yunita telah tak sanggup melawan, maka mereka berdua mengganti lagi posisi badan mereka : Ali kini setengah terlentang dengan kontol telah berdiri mengacung ke udara, Yunita diangkat oleh Abdul dan diatur berlutut sambil menungging untuk “memanjakan” kontol Ali, sedangkan dari belakang sang ayah tiri kembali mendorong dan memasukkan kontolnya ke memek Yunita.
Meskipun telah demikian licin basah, namun karena baru saja diperawani maka tetap terasa perih sakit di saat kontol ayah tirinya mulai masuk sehingga Yunita tak sadar memekik dan melepaskan kontol Ali yang sedang dikulumnya sambil menggoyang pinggul seolah ingin melepaskan diri dari penetrasi Abdul. Namun Abdul telah memegangi pinggang Yunita yang ramping sehingga pinggulnya tak dapat digeser ke samping – sementara Ali juga dengan mantab menjambak jilbab putih dan menekan kembali kepala Yunita untuk melakukan “service” ke rudalnya yang berukuran tak kalah dengan milik ayahnya.
Ketika Abdul semakin dalam mendorong kontolnya maka Yunita kembali merasa perih ngilu kesakitan, mungkin karena bagian selaput daranya yang beberapa menit lalu sobek kembali terbuka lukanya. Yunita berusaha mencakar paha sang pemerkosa di belakang pinggulnya dengan kuku-kuku kedua tangannya, namun Abdul sudah siap dan terbiasa dengan reaksi perlawanan wanita dalam posisi seperti ini. Kedua tangan Yunita yang menggapai ingin menyakar itu lekas ditangkap, dicekal pergelangan nadinya dan lalu ditelikung ke belakang.
Dalam kedua tangannya berada di punggung dan ditelikung maka Yunita tak dapat menunjang lagi badan bagian atasnya, namun ini justru memudahkan Ali yang sedang disepong untuk menjambak jilbab dan rambut Yunita, lalu dengan ritmis diturun-naikkan dengan irama yang sangat memuaskan “otong” nya. Dengan satu tangan Abdul tetap menelikung nadi mangsanya sehingga Yunita tak dapat mencakar, sementara tangannya yang lain meremas-remas buah dada Yunita yang menggantung indah dan memilin serta memijit-mijit putingnya.